Saturday, May 24, 2025

Find Me

Kamis, 28 Juli 2016

Memancang Jejak



Carut marutnya perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan bahkan agama dewasa ini, telah membawa perubahan dan konsekuensi yang luas dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Krisis ekonomi yang tak kunjung selesai, yang hampir melanda sebagian negara di dunia, termasuk Indonesia, percaturan sosial politik yang tak pernah dingin, sampai terpaan budaya dari segala arah melalui exposure tanpa batas di berbagai media, sampai liberalisme agama yang semakin mengemuka, seakan-akan membawa manusia dalam pergulatan era yang tidak pernah koma. Bergulir, menggelinding dan menggilas siapa saja yang tidak punya pasak yang kuat menancap ke dasar bumi. Menerpa, menerjang dan menghempas pribadi-pribadi yang akar pondasinya hanya sejengkal. Inilah kondisi yang terus menghantui dan mengancam setiap detik waktu yang berlalu, pada setiap langkah yang beranjak, pada setiap nafas yang terhembus. Harga BBM yang tidak pernah stabil, nilai tukar rupiah yang terus melemah, harga bahan pokok yang terus melonjak. Di sisi lain, korupsi di berbagai sisi, mulai dari politisi sampai akademisi, semakin berwarna laksana pelangi. Belum lagi kabar perang di berbagai belahan bumi, hingga kepedihan Afganistan yang tercabik tirani zionis Israel yang tiada terperi. Lika-liku sosial juga semakin rumit laksana labirin yang siap menyesatkan siapa saja yang menelusurinya. Tergambar nyata di layar kaca, memantulkan bias cahaya menggoda tuk menjadi bagian sosialita.
Begitulah sekelumit cerita di akhir Juli ini, yang berlangsung anomaly. Karena biasanya pada bulan ke tujuh hawanya hangat cenderung panas (kemarau). Sekarang jadi berawan, hujan di sana-sini, sehingga cool” karena memang cuaca ekstrim menyelimuti pertengahan tahun ini. Untuk itulah kita harus tetap terjaga, agar raga dan jiwa kita tetap siaga, tidak terserang “hypotermia” yang melenakan rasionalitas dan nurani kita, hingga terlelap menghempaskan kesadaran dan intuisi kita. Apalagi jika dikaitkan dengan realitas yang terjadi dewasa ini, dimana era modernisme, globalisasi, atau milineum yang ditandai dengan hadirnya sentra-sentra industri di berbagai bidang. Telah membuat manusia melupakan eksistensinya sebagai manusia yang punya perasaan, moral, dan etika. Sehingga banyak sekali manusia yang kehilangan jati diri dan kepribadiannya karena terjebak dalam perilaku materialistis, kapitalis dan hedonis serta mengesampingkan moral dan etika. Saat inilah kita harus mengevaluasi seluruh dimensi pribadi kita, segenap jiwa dan raga untuk kembali mengatur renstra (rencana strategis) dari Aqla, Qolb, Nafs dan Ruhillah kita untuk mengarahkan kapasitas diri kita agar potensi dan kompetensi kita dapat berkembang, berproduksi dan berkarya menjadi maestro terkemuka ke depan. Dan yang terpenting kondisi kesehatan psikologis kita minimal tetap terjaga, meskipun setiap saat terancam oleh tekanan yang ada.
Evaluasi mendasar yang perlu kita pancangkan di setengah perjalanan ke depan, dan semangat baru yang harus kita kibarkan, sebenarnya tidak perlu menebar, cukup satu kata yakni “eksistensi”. Istilah ini berasal dari bahasa Latin existo yang terdiri dari dua suku kata yaitu ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi atau hadir. Eksistensi berarti  menekankan kembali pemikiran lalu (sepanjang masa lalu), seperti pernyataan Dekrates bahwa saya berpikir saya ada, kita balik (di masa mendatang) menjadi saya ada, maka saya berpikir. Artinya kualitas-kualitas kongkret keberadaan kita harus kita hadirkan dalam dunia kecil atau lokal kita, bukan abstrak, penuh konsep dan serba universal, sehingga jauh dari jangkauan. Karena untuk merubah dunia kita tidak perlu menunggu sebuah maha karya yang besar (yang tentunya sangat sulit kita wujudkan), tetapi dengan langkah kecil di lingkungan kita sebagai dunia lokal kita yang terjangkau dengan perbuatan baik yang kita terbarkan akan merubah dunia yang luas terbentang (misalnya, membuang sampah di jalan, akan menjadi awal yang manis untuk merubah dunia menjadi bersih dari sampah, dan menghindari banjir).
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Selain itu, eksistensialisme juga menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupannya. Keyakinan bahwa eksistensi adalah hal yang terpenting, penekanannya pada keunikan dan kedudukan dari eksistensi itu sendiri, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung, desakan “untuk hidup” dan diakui sebagai individu, agar memperoleh arti dan makna dalam kehidupan. Jadi, secara ringkas jika kita mendasari evaluasi diri kita untuk menancapkan eksistensi kita sebagai manusia yang utuh, maka beberapa hal yang perlu kita lakukan, adalah memandang hidup sebagai proyek untuk mencapai bentuk keberadaan yang optimal, yaitu kebebasan atau kemerdekaan yang mutlak sebagai tanggung jawab pribadi. Oleh sebab itu sesuai pandangan eksistensialisme hidup itu belum selesai, walaupun tahun-tahun terus bergulir dan berakhir di bulan ke dua belas, tetapi hidup harus terus berlanjut hingga tutup usia dan seterusnya. Secara psikologis, eksistensi kita yang harus kita mantapkan ke depan adalah:
  1. Kesadaran diri. Sadarilah keberadaan diri kita seoptimal mungkin, agar setiap saat, dan sepanjang waktu kita terus berada dalam alam kesadaran kita dan jauh dari alam ketidaksadaran kita. Sehingga kita senantiasa dapat mengarahkan diri kita menuju ke muara kepositifan dalam berbagai sendi kehidupan kita.
  2. Kebebasan dan tanggung jawab. Kita adalah penentu diri kita sendiri, kita berhak menentukan sikap dan mengambil keputusan mandiri terhadap diri kita, tetapi kita juga jangan lupa pada tanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasib kita sendiri. Sehingga kita terhindar dari korban ego dan dominasi sesuatu terhadap diri kita. Entah itu sesuatu yang melenakan kita, seperti hobi dan kegemaran yang memabukkan.
  3. Pencarian dan penciptaan makna. Kita harus senantiasa memberikan makna bagi kehidupan. Sehingga kita bisa merasakan arti hidup dan kehidupan sebenarnya. Dan makna itu akan semakin berarti jika kita dapat berhubungan dan berinteraksi secara efektif dengan sesamanya.
  4. Kecemasan motivasional. Kita harus mampu kreatif menjadikan kecemasan, yang merupakan reaksi terhadap ancaman, sebagai kecemasan yang konstruktif dan  eksistensial. Artinya berfungsi sebagai penerimaan kita atas berbagai tekanan yang mengancam tersebut. Bukan sesuatu yang harus ditakuti apalagi dihindari.
  5. Kesadaran kematian atau “non-ada”. kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan kita, karena yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hidup dan mengisi kehidupan. Walaupun hidup kita lama dan diberi usia yang panjang oleh Tuhan, tetapi jika tidak diisi dengan hal yang bermakna, maka itu sia-sia belaka.
  6. Perjuangan aktualisasi diri. Setiap orang memiliki dorongan bahwa untuk menjadi seorang pribadi, yakni memiliki kecenderungan ke arah penemuan identitas pribadi dan perjuangan demi aktualisasi potensinya secara penuh. sanggup mentoleransi bahkan menerima ketidaktentuan dalam hidupnya, menerima diri sendiri dan orang lain, spontan, penuh kreativitas, otonomi, sanggup menjalin hubungan interpersonal yang hangat, perhatian yang tulus, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (misal kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan eksistensi diri berikut ini harus kita hadirkan dalam diri kita guna menyongsong hidup di tahun-tahun mendatang. Yakni, siapa saya ini? bisa menjadi apa saya ini? bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang? seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas pilihan-pilihan? sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? apa saya menjalani hidup ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? apa yang saya lakukan untuk membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Harapannya kita terus menyadari bahwa saya “di sini dan sekarang”, serta saya selalu  ada-dalam-dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By