
Begitulah
sekelumit cerita di akhir Juli ini, yang berlangsung anomaly.
Karena biasanya pada bulan ke tujuh hawanya hangat cenderung panas (kemarau).
Sekarang jadi berawan, hujan di sana-sini, sehingga “cool” karena memang cuaca ekstrim
menyelimuti pertengahan tahun ini. Untuk itulah kita harus tetap terjaga, agar raga dan jiwa kita tetap
siaga, tidak terserang “hypotermia”
yang melenakan rasionalitas dan nurani kita, hingga terlelap menghempaskan
kesadaran dan intuisi kita. Apalagi
jika dikaitkan dengan realitas yang terjadi dewasa ini, dimana era modernisme,
globalisasi, atau milineum yang ditandai dengan hadirnya sentra-sentra industri
di berbagai bidang. Telah
membuat manusia melupakan eksistensinya sebagai manusia yang punya perasaan,
moral, dan etika. Sehingga banyak sekali manusia yang kehilangan jati
diri dan kepribadiannya karena terjebak dalam perilaku materialistis, kapitalis
dan hedonis serta mengesampingkan moral dan etika. Saat
inilah kita harus mengevaluasi seluruh dimensi pribadi kita, segenap jiwa dan
raga untuk kembali mengatur renstra (rencana strategis) dari Aqla, Qolb, Nafs dan Ruhillah kita untuk mengarahkan
kapasitas diri kita agar potensi dan kompetensi kita dapat berkembang,
berproduksi dan berkarya menjadi maestro terkemuka ke depan. Dan yang terpenting
kondisi kesehatan psikologis kita minimal tetap terjaga, meskipun setiap saat
terancam oleh tekanan yang ada.
Evaluasi mendasar
yang perlu kita pancangkan di setengah perjalanan ke depan, dan semangat baru
yang harus kita kibarkan, sebenarnya tidak perlu menebar, cukup satu kata yakni
“eksistensi”. Istilah
ini berasal dari bahasa Latin existo yang terdiri dari dua suku kata
yaitu ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi atau hadir.
Eksistensi berarti menekankan kembali pemikiran lalu (sepanjang masa lalu), seperti pernyataan Dekrates bahwa ″saya berpikir saya ada″, kita balik (di masa mendatang) menjadi ″saya ada, maka saya
berpikir″. Artinya kualitas-kualitas
kongkret keberadaan kita harus
kita hadirkan dalam dunia kecil atau lokal kita, bukan abstrak, penuh konsep dan serba universal, sehingga jauh dari jangkauan. Karena untuk
merubah dunia kita tidak perlu menunggu sebuah maha karya yang besar (yang
tentunya sangat sulit kita wujudkan), tetapi dengan langkah kecil di lingkungan
kita sebagai dunia lokal kita yang terjangkau dengan perbuatan baik yang kita
terbarkan akan merubah dunia yang luas terbentang (misalnya, membuang sampah di
jalan, akan menjadi awal yang manis untuk merubah dunia menjadi bersih dari
sampah, dan menghindari banjir).
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya
sendiri, suatu kesanggupan yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan
memutuskan. Selain itu, eksistensialisme juga menekankan bahwa manusia memiliki
kebebasan untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan
memberikan makna bagi kehidupannya. Keyakinan bahwa
eksistensi adalah hal yang terpenting, penekanannya pada keunikan dan kedudukan
dari eksistensi itu sendiri, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung, desakan
“untuk hidup” dan diakui sebagai individu, agar memperoleh arti dan makna dalam
kehidupan. Jadi,
secara ringkas jika kita mendasari
evaluasi diri kita untuk menancapkan eksistensi kita sebagai manusia yang utuh, maka beberapa
hal yang perlu kita lakukan, adalah memandang hidup sebagai proyek untuk mencapai
bentuk keberadaan yang optimal, yaitu kebebasan atau kemerdekaan yang mutlak
sebagai tanggung jawab pribadi. Oleh sebab itu sesuai pandangan eksistensialisme hidup itu belum selesai,
walaupun tahun-tahun
terus bergulir dan berakhir di bulan ke dua belas, tetapi hidup harus terus berlanjut hingga tutup usia dan seterusnya. Secara psikologis, eksistensi kita yang harus
kita mantapkan ke depan adalah:
- Kesadaran diri. Sadarilah keberadaan diri kita seoptimal mungkin, agar setiap saat, dan sepanjang waktu kita terus berada dalam alam kesadaran kita dan jauh dari alam ketidaksadaran kita. Sehingga kita senantiasa dapat mengarahkan diri kita menuju ke muara kepositifan dalam berbagai sendi kehidupan kita.
- Kebebasan dan tanggung jawab. Kita adalah penentu diri kita sendiri, kita berhak menentukan sikap dan mengambil keputusan mandiri terhadap diri kita, tetapi kita juga jangan lupa pada tanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasib kita sendiri. Sehingga kita terhindar dari korban ego dan dominasi sesuatu terhadap diri kita. Entah itu sesuatu yang melenakan kita, seperti hobi dan kegemaran yang memabukkan.
- Pencarian dan penciptaan makna. Kita harus senantiasa memberikan makna bagi kehidupan. Sehingga kita bisa merasakan arti hidup dan kehidupan sebenarnya. Dan makna itu akan semakin berarti jika kita dapat berhubungan dan berinteraksi secara efektif dengan sesamanya.
- Kecemasan motivasional. Kita harus mampu kreatif menjadikan kecemasan, yang merupakan reaksi terhadap ancaman, sebagai kecemasan yang konstruktif dan eksistensial. Artinya berfungsi sebagai penerimaan kita atas berbagai tekanan yang mengancam tersebut. Bukan sesuatu yang harus ditakuti apalagi dihindari.
- Kesadaran kematian atau “non-ada”. kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan kita, karena yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hidup dan mengisi kehidupan. Walaupun hidup kita lama dan diberi usia yang panjang oleh Tuhan, tetapi jika tidak diisi dengan hal yang bermakna, maka itu sia-sia belaka.
- Perjuangan aktualisasi diri. Setiap orang memiliki dorongan bahwa untuk menjadi seorang pribadi, yakni memiliki kecenderungan ke arah penemuan identitas pribadi dan perjuangan demi aktualisasi potensinya secara penuh. sanggup mentoleransi bahkan menerima ketidaktentuan dalam hidupnya, menerima diri sendiri dan orang lain, spontan, penuh kreativitas, otonomi, sanggup menjalin hubungan interpersonal yang hangat, perhatian yang tulus, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (misal kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan eksistensi diri berikut ini harus kita hadirkan dalam
diri kita guna menyongsong hidup di tahun-tahun
mendatang. Yakni, siapa saya ini? bisa
menjadi apa saya ini? bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas
diri saya yang sekarang? seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima
kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? bagaimana saya mengatasi kecemasan
yang ditimbulkan oleh kesadaran atas pilihan-pilihan? sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri
saya sendiri? apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? apa saya
menjalani hidup ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? apa yang saya
lakukan untuk membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Harapannya kita
terus menyadari bahwa saya “di sini dan sekarang”, serta saya selalu ″ada-dalam-dunia″.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar