
Wacana yang didengungkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggulirkan ide
'kontroversial' untuk dunia pendidikan Indonesia. Menteri yang belum sebulan
menggantikan Anies Baswedan itu mewacanakan sekolah sehari penuh atau full
day school untuk siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Idenya terinspirasi dari sekolah swasta yang sudah mempraktikkan sistem
sekolah sehari penuh. pulang sekolah lebih sore, yakni pukul 17.00 WIB. Namun,
para siswa akan libur dua hari pada Sabtu dan Minggu. Sebagai wujud terjemahan
lebih lanjut program Nawacita, di mana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan
karakter lebih banyak dibanding knowledge base-nya (Liputan 6, 10/10/2016).
Jadi jelas gagasan bertujuan untuk membangun karakter peserta didik agar tidak
menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari
kerja," kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
(Kompas,7/8/2016).
Gagasan tersebut, saat ini ramai
diperbincangkan di media massa.Tanggapan masyarakat dari berbagai elemen paling
bawah sampai atas beragam. Ada yang pro dan kontra, dengan alasan dan argumennya
masing-masing. Kalau dilihat dari perkembangan wacana ini, yang jelas kontra
adalah dari berbagai pihak mulai dari wali murid, sampai elemen-elemen yang
konsen terhadap masalah perkembangan anak seperti Komnas Perlindungan Anak.
Sedangkan yang pro diwakili oleh orangtua yang seharian sibuk bekerja. Dianggap
sebagai angin segar, karena mereka tidak mampu meluangkan waktunya lebih banyak
bermasa anak-anaknya. Sehingga wacana kebijakan ini terkesan tanpa didasari
tujuan yang substansial untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembangunan
karakter yang sesungguhnya. Tetapi lebif bersifat kontekstual untuk melayani
kelompok masyarakat pekerja yang tidak memiliki waktu banyak untuk menemani dan
mendidik anak-anaknya. Padahal, kalau untuk diterapkan menjadi kebijakan
nasional, harus mewakili seluruh bangsa ini.
Begitulah bangsa ini, polemik sudah jadi
trend, entah disengaja atau tidak wacana itu telah menimbulkan opini
berkembang. Ibarat bola salju udah terlanjur dilemparkan, menggelinding ke
sana-ke mari menimbulkan perdebatan di sana-sini. Jujur, wacana ini terkesan
tanpa dasar kajian maupun penelitian yang mendalam dan komprehensif dari
berbagai sisi. Entahlah, bukan hal yang baru, setiap pemimpin baru akan
menelurkan kebijakan dan terobosan-terobosan baru yang biasa maupun krusial.
Minimal membuat pernyataan yang sensasional. Seakan mengisyaratkan bagian dari
pemenuhan kebutuhan eksistensi diri. Sebagai new comer (siapapun
orangnya) seakan-akan ingin memantapkan keberadaannya dan menunjukkan bahwa
dirinya berbeda (atau lebih baik) dari sebelumnya. Hal ini, tidak jarang
memunculkan sikap dan perilaku yang sensasional bahkan menimbulkan polemik yang
mengejutkan banyak pihak. Sebagaimana pernyataan sang Menteri di harian Jawa
Pos (10/08/2016) “saya itu baru jualan ide, ingin tahu respon masyarakat
seperti apa, dan lebih baik ramai di awal ketimbang setelah kebijakan keluar”.
Begitulah sepotong pernyataannya. Jelas sekali terkesan sensasional.

Seandainya
konsep ini benar-benar mau ditetaskan, maka beberapa hal yang perlu dikaji secara
mendalam. Misalnya saja masalah waktu, kalau durasi waktunya diplot jam 07.00
sampai 17.00, apa mungkin setiap sekolah bisa menerapkannya, bagaimana dengan
yang wilayahnya di daerah terpencil, wah bisa bermalam di sekolah. Karena kalau
pulangnya sore, nanti sampai di rumah bisa tengah malam, karena jarak akses
rumah dengan sekolah yang berjauhan. Oleh sebab itu, baiknya ukuran waktu ini tidak
bisa disamaratakan seluruh Indonesia. Di satu sisi, durasinya ini apa
benar-benar sepanjang hari ataukah menyesuaikan jam kerja orangtuanya. Kalau
sepanjang hari dari jam 07.00-17.00, yang perlu dipikirkan adalah muatan
program kegiatannya apa saja yang harus diberikan, bagaimana pola istirahatnya,
dan lain sebagainya. Di Finlandia saja yang memiliki standar mutu pendidikan
terbaik di dunia menurut riset OECD (Organization
for Economic Cooperation and Development) tahun
2015. Menetapkan maksimal lima jam sehari untuk pendidikan dasar dan menengah.
Secara
psikologis, anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan. Dimana kondisi fisiknya
membutuhkan istirahat yang cukup. Nah jika seharian di sekolah, tanpa ada
istirahat (tidur siang sejenak untuk mengembalikan kondisi tubuh), maka otak
anak akan stress, dan pertumbuhan fisik tidak optima. Jika yang terjadi
demikian, maka bukan generasi emas yang sehat dan cerdas yang dicapai, tetapi
generasi sakit. Taruhlah fasilitas dipenuhi, misalnya disediakan ruangan
istirahat baik indoor (bansal-bangsal untut istirahat tidur siang) atau outdoor
berupa taman-taman yang nyaman untuk bermain dan bersantai. Kalaupun fasilitas
itu ada dan layak digunakan,.apakah serta merta akan dipergunakan dengan baik
oleh ana-anak. Karena yang namanya anak-anak kalo udah berkumpul dengan
sebayanya akan sulit untuk dikondisikan. Apalagi disuruh tidur siang dengan
kondisi ramai. Mungkin gurunya udah kelelahan dulu sebelum mampu mengkondisikan
mereka. Karena gururnya juga butuh istirahat, kalau kelelahan akan mengidap
stress juga.
Secara
sosial, jelas akan terjadi perubahan pola interaksi dan pergaulan. Seharian
berada di sekolah, maka lingkup interaksi hanya seputar sekolah dan
teman-temannya di sekolah. Sementara interaksi dengan lingkungan rumah dan
tetangga serta saudara akan berkurang, karena selepas pulang sekolah akan
kelelahan (tidak ada waktu bersosial di lingkungan rumah). Padahal anak
membutuhkan modal sosial yang kaya, agar mampu menjadi pribadi yang punya
kapasitas diri secara soft skill. Artinya secara sosial akan terbatas
daya adaptasi dan interaksinya. Bisa melahirkan generasi yang cenderung
individualis, karena terbatasnya akses sosial.

Secara ekonomi, hal ini tidak kalah penting,
bahkan bisa jadi penghambat jika ini benar-benar diterapkan. Karena operasional
full day school otomatis akan menyerap biaya yang sangat besar. Untuk
pengadaan infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana program full day
school. Untuk gaji lembur guru-gurunya, untuk biaya konsumsi, dan fasilitas
fisik lainnya. Jika biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi, apa mungkin
menjangkau semua lapisan masyarakat. Kecuali, biaya ini tidak dibebankan kepada
orangtua, tapi ditanggung oleh pemerintah. Tapi, apa bisa, wong sekarang pemerintah
sedang gencar-gencarnya melakukan pemangkasan anggaran.
Terakhir
dari segi agama, muatan program maupun kurikulum yang dirancang, hendaknya tidak
mengesampingkan aspek agama ini, karena kalau porsinya kurang, maka akan jadi
blunder. Dimana kemampuan intelektualnya tercapai tetapi keagamaannya nihil,
sehingga pendidikan karakter akan kembali gagal. Di sisi lain, apa hal ini
tidak akan berbenturan dengan lembaga-lembaga pendidikan nonformal semacam
pesantren dengan pendidikan diniahnya, ataupun TPA (Taman Pendidikan Alquran). Kalau
demikian, kenapa tidak sekalian saja dimasukkan ke pesantren.
Jadi,
seandainya kebijakan full day school ini benar-benar diterapkan, maka
sifatnya harus fleksibel dan sebagai pilihan saja bagi lembaga pendidikan yang
ingin menerapkannya. Semacam program akselerasi yang sudah dilakukan oleh
beberapa sekolah favorit. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kajian
yang mendalam. Seperti yang telah di bahas di atas. Tetapi juga, harus
mempersiapkan personil penyelenggara yang mampu menjadi mediator, fasilitator,
serta pendidik yang handal, serta menyiapkan rancangan program yang benar-benar
mampu mengarahkan pada capaian dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar