Wednesday, May 21, 2025

Find Me

Jumat, 11 November 2016

Full Day School, Yes or No?



Artikel ini udah dikirim ke Opini Kompas, hanya kemudian balasannya ditolak dengan alasan sudah gak uptodate. Padahal waktu itu masih dalam kondisi hangat. Mungkin bagian verifikasi data yang diemail, kelamaan buka-nya karena terlalu banyaknya file yang masuk. Mungkin untuk selanjutnya segera dikirim segera dibaca. Gak pa apalah saya masukkan di blog aja deh.
Wacana yang didengungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggulirkan ide 'kontroversial' untuk dunia pendidikan Indonesia. Menteri yang belum sebulan menggantikan Anies Baswedan itu mewacanakan sekolah sehari penuh atau full day school untuk siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Idenya terinspirasi dari sekolah swasta yang sudah mempraktikkan sistem sekolah sehari penuh. pulang sekolah lebih sore, yakni pukul 17.00 WIB. Namun, para siswa akan libur dua hari pada Sabtu dan Minggu. Sebagai wujud terjemahan lebih lanjut program Nawacita, di mana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge base-nya (Liputan 6, 10/10/2016). Jadi jelas gagasan bertujuan untuk membangun karakter peserta didik agar tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Kompas,7/8/2016).
Gagasan tersebut, saat ini ramai diperbincangkan di media massa.Tanggapan masyarakat dari berbagai elemen paling bawah sampai atas beragam. Ada yang pro dan kontra, dengan alasan dan argumennya masing-masing. Kalau dilihat dari perkembangan wacana ini, yang jelas kontra adalah dari berbagai pihak mulai dari wali murid, sampai elemen-elemen yang konsen terhadap masalah perkembangan anak seperti Komnas Perlindungan Anak. Sedangkan yang pro diwakili oleh orangtua yang seharian sibuk bekerja. Dianggap sebagai angin segar, karena mereka tidak mampu meluangkan waktunya lebih banyak bermasa anak-anaknya. Sehingga wacana kebijakan ini terkesan tanpa didasari tujuan yang substansial untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembangunan karakter yang sesungguhnya. Tetapi lebif bersifat kontekstual untuk melayani kelompok masyarakat pekerja yang tidak memiliki waktu banyak untuk menemani dan mendidik anak-anaknya. Padahal, kalau untuk diterapkan menjadi kebijakan nasional, harus mewakili seluruh bangsa ini.
Begitulah bangsa ini, polemik sudah jadi trend, entah disengaja atau tidak wacana itu telah menimbulkan opini berkembang. Ibarat bola salju udah terlanjur dilemparkan, menggelinding ke sana-ke mari menimbulkan perdebatan di sana-sini. Jujur, wacana ini terkesan tanpa dasar kajian maupun penelitian yang mendalam dan komprehensif dari berbagai sisi. Entahlah, bukan hal yang baru, setiap pemimpin baru akan menelurkan kebijakan dan terobosan-terobosan baru yang biasa maupun krusial. Minimal membuat pernyataan yang sensasional. Seakan mengisyaratkan bagian dari pemenuhan kebutuhan eksistensi diri. Sebagai new comer (siapapun orangnya) seakan-akan ingin memantapkan keberadaannya dan menunjukkan bahwa dirinya berbeda (atau lebih baik) dari sebelumnya. Hal ini, tidak jarang memunculkan sikap dan perilaku yang sensasional bahkan menimbulkan polemik yang mengejutkan banyak pihak. Sebagaimana pernyataan sang Menteri di harian Jawa Pos (10/08/2016) “saya itu baru jualan ide, ingin tahu respon masyarakat seperti apa, dan lebih baik ramai di awal ketimbang setelah kebijakan keluar”. Begitulah sepotong pernyataannya. Jelas sekali terkesan sensasional.
Selama ini memang konsep full day school sudah ada dan dilakukan oleh beberapa sekolah unggulan dan swasta favorit. Jadi bukan hal baru. Tetapi, untuk dijadikan kebijakan nasional yang sifatnya mengikat bagi seluruh lembaga pendidikan dasar, tentu tidak semudah mengucapkannya. Karena dari segi infrastrukturnya saja belum siap. Belum lagi aspek psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Oleh sebab itu, Jika memang kebijakan full day school yang sudah ditelurkan ini mau ditetaskan maka sebaiknya harus mempertimbangkan berbagai aspek. Sifatnyapun harus luwes tidak memaksakan pada semua satuan pendidikan dasar, baik di pusat maupun daerah. Karena karakteristik dan kebutuhan serta persoalan yang dihadapi mereka beragam dan kompleks. Belum lagi kesediaan orangtua sebagai wali murid untuk setuju dan mau memasukkan anaknya ke sekolah full day. Jangan sampai kebijakan ini dilakukan dengan cara Try Out terpakai (masyarakat sebagai sampel uji coba sekaligus penelitian). Jika, ini yang dilakukan, maka akan semakin tidak jelas nasib generasi bangsa ini, dalam perjalanannya mengenyam pendidikan agar menjadi generasi yang cerdas dan berkarakter. Bayangkan saja dari pergantian presiden, dan beberapa orang menterinya sudah berapa kali ganti sistem pendidikan, seakan hanya jadi komoditas bukan substansional dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Seandainya konsep ini benar-benar mau ditetaskan, maka beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam. Misalnya saja masalah waktu, kalau durasi waktunya diplot jam 07.00 sampai 17.00, apa mungkin setiap sekolah bisa menerapkannya, bagaimana dengan yang wilayahnya di daerah terpencil, wah bisa bermalam di sekolah. Karena kalau pulangnya sore, nanti sampai di rumah bisa tengah malam, karena jarak akses rumah dengan sekolah yang berjauhan. Oleh sebab itu, baiknya ukuran waktu ini tidak bisa disamaratakan seluruh Indonesia. Di satu sisi, durasinya ini apa benar-benar sepanjang hari ataukah menyesuaikan jam kerja orangtuanya. Kalau sepanjang hari dari jam 07.00-17.00, yang perlu dipikirkan adalah muatan program kegiatannya apa saja yang harus diberikan, bagaimana pola istirahatnya, dan lain sebagainya. Di Finlandia saja yang memiliki standar mutu pendidikan terbaik di dunia menurut riset OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tahun 2015. Menetapkan maksimal lima jam sehari untuk pendidikan dasar dan menengah.
Secara psikologis, anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan. Dimana kondisi fisiknya membutuhkan istirahat yang cukup. Nah jika seharian di sekolah, tanpa ada istirahat (tidur siang sejenak untuk mengembalikan kondisi tubuh), maka otak anak akan stress, dan pertumbuhan fisik tidak optima. Jika yang terjadi demikian, maka bukan generasi emas yang sehat dan cerdas yang dicapai, tetapi generasi sakit. Taruhlah fasilitas dipenuhi, misalnya disediakan ruangan istirahat baik indoor (bansal-bangsal untut istirahat tidur siang) atau outdoor berupa taman-taman yang nyaman untuk bermain dan bersantai. Kalaupun fasilitas itu ada dan layak digunakan,.apakah serta merta akan dipergunakan dengan baik oleh ana-anak. Karena yang namanya anak-anak kalo udah berkumpul dengan sebayanya akan sulit untuk dikondisikan. Apalagi disuruh tidur siang dengan kondisi ramai. Mungkin gurunya udah kelelahan dulu sebelum mampu mengkondisikan mereka. Karena gururnya juga butuh istirahat, kalau kelelahan akan mengidap stress juga.
Secara sosial, jelas akan terjadi perubahan pola interaksi dan pergaulan. Seharian berada di sekolah, maka lingkup interaksi hanya seputar sekolah dan teman-temannya di sekolah. Sementara interaksi dengan lingkungan rumah dan tetangga serta saudara akan berkurang, karena selepas pulang sekolah akan kelelahan (tidak ada waktu bersosial di lingkungan rumah). Padahal anak membutuhkan modal sosial yang kaya, agar mampu menjadi pribadi yang punya kapasitas diri secara soft skill. Artinya secara sosial akan terbatas daya adaptasi dan interaksinya. Bisa melahirkan generasi yang cenderung individualis, karena terbatasnya akses sosial.

Secara budaya, tentu saja aksesnya juga semakin minim. Karena seharian di sekolah, maka budaya yang dipelajari dan diserap jadi terbatas. Padahal budaya itu salah satu elemen penting dalam pembangunan karakter. Bangsa ini bisa menjadi Bhineka Tunggal Ika karena memiliki akar budaya yang kuat dengan ditopang oleh local wisdom. Budaya yang syarat dengan kearifan lokal bisa diakses melalui interaksi dan internalisasi di lingkungan dimana individu itu tinggal dan berkembang. Harusnya lingkungan yang paling banyak diserap adalah budaya di rumah dan lingkungan sekitarnya.
Secara ekonomi, hal ini tidak kalah penting, bahkan bisa jadi penghambat jika ini benar-benar diterapkan. Karena operasional full day school otomatis akan menyerap biaya yang sangat besar. Untuk pengadaan infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana program full day school. Untuk gaji lembur guru-gurunya, untuk biaya konsumsi, dan fasilitas fisik lainnya. Jika biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi, apa mungkin menjangkau semua lapisan masyarakat. Kecuali, biaya ini tidak dibebankan kepada orangtua, tapi ditanggung oleh pemerintah. Tapi, apa bisa, wong sekarang pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pemangkasan anggaran.
Terakhir dari segi agama, muatan program maupun kurikulum yang dirancang, hendaknya tidak mengesampingkan aspek agama ini, karena kalau porsinya kurang, maka akan jadi blunder. Dimana kemampuan intelektualnya tercapai tetapi keagamaannya nihil, sehingga pendidikan karakter akan kembali gagal. Di sisi lain, apa hal ini tidak akan berbenturan dengan lembaga-lembaga pendidikan nonformal semacam pesantren dengan pendidikan diniahnya, ataupun TPA (Taman Pendidikan Alquran). Kalau demikian, kenapa tidak sekalian saja dimasukkan ke pesantren.
Jadi, seandainya kebijakan full day school ini benar-benar diterapkan, maka sifatnya harus fleksibel dan sebagai pilihan saja bagi lembaga pendidikan yang ingin menerapkannya. Semacam program akselerasi yang sudah dilakukan oleh beberapa sekolah favorit. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kajian yang mendalam. Seperti yang telah di bahas di atas. Tetapi juga, harus mempersiapkan personil penyelenggara yang mampu menjadi mediator, fasilitator, serta pendidik yang handal, serta menyiapkan rancangan program yang benar-benar mampu mengarahkan pada capaian dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By