Sunday, May 04, 2025

Find Me

Senin, 03 April 2017

BALINESIA


Setiap perjalanan pastilah punya cerita yang bisa dibagikan kepada siapapun. Tak lengkaplah rasanya jika itu semua menghilang begitu saja, tinggal kenangan yang kemungkinan besar akan hilang tertutupi oleh pengalaman perjalanan lainnya. sebagaimana perjalananku ke pulau Dewata, satu di antara sekian banyak destinasi yang pernah kulakukan sepanjang hidupku.
                Perjalananku ke pulau ini syarat dengan kenangan yang di dalamnya ada cinta dan hasrat serta pertemanan yang hangat sampai ikatan emosional dengan tempat-tempat di bali, bahkan pengalaman mistis juga ada. semua ceritaku kutuangkan dalam karya kompilasi bersama mahasiswaku. 
                Pulau Dewata sebutan lain untuk pulau Bali. Pulau yang syarat cerita, apalagi bagi yang pertama kali mengunjungi pulau ini. Jangankan menginjakkan kaki di tanah Bali, atau saat tiba di pelabuhan Gilimanuk. Waktu di Ferri penyeberanganpun kita sudah disuguhi pengalaman magis perubahan waktu dari WIB ke WITA. Apalagi kalau malam hari. Terasa banget keunikan ini, saat kapal penyeberangan ini berputar mengikuti arah menghindari gelombang menuju bibir dermaga Gilimanuk. Saat itu pula seringkali waktu di jam tangan kita sering berubah-rubah. Misalkan dari jam 01.00 jadi jam 02.00 begitu seterusnya, hingga kapal benar-benar merapat di dermaga.
Saat menuruni tangga kapal hidung kita sudah mencium aroma khas pulau Bali. Aroma yang tidak akan kita temukan di tempat lain. Hal ini akan kita rasakan jika ini adalah pengalaman pertama menghirup udara pulau ini. Sulit digambarkan dengan kata-kata, hanya bisa diidentifikasi secara nyata oleh indra penciuman kita. Terasa laksana perpaduan antara hawa kuburan dan hawa dingin sedikit berbau khas yang samar, yang menghasilkan aroma magis sehingga sedikit membuat bulu roma dan kuduk merinding untuk beberapa saat. Yang jelas sangat berbeda ketika kita masih berada di pulau Jawa atau di sisi lain pulau ini di dermaga Ketapang Banyuwangi.
Bagiku nuansa aroma mistis ini memang sudah tidak sekuat dulu waktu pertama kali ke mari. Tapi, walaupun udah keempat kalinya ke Bali, tetap saja nuansa magis ini masih kurasakan. Apalagi, ingatanku kembali ditarik ke cerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat bahwa Pulau Bali adalah pulau yang syarat dengan misteri dan harus berhati-hati jika berada di pulau ini. Mitos-mitos seperti, jangan buang air di sembarang tempat, atau menjemur pakaian dalam di sembarang tempat juga harus hati-hati, karena bisa kerasukan atau diganggu makhluk asral. Mulai dari jin hingga yang paling populer dikunjungi si “Leak” atau “liya ak” (identik dengan makhluk berwajag seram dengan gigi bertaring dengan berbalut kain kotak-kotak hitam putih), bukan hanya Mitos belaka, walaupun saat ini semakin sedikit, kecuali daerah Bali pedalaman semacam Sanur. Tetapi, siapa yang berani bermain-main dengan makhluk asral ini. Silahkan coba langgar pantangannya.
Cerita-cerita semacam itu sudah lama sekali saya dengar dari masyarakat, khususnya dari orang-orang yang pernah ke pulau Bali. Bahkan pernah tersiar kabar kalau seorang perantau di daerahku Jember, pernah kehilangan alat kelaminnya, dan anehnya setelah nyeberang kembali ke pulau Jawa, atau nyampai di pelabuhan Ketapang, alat kelaminnya bisa kembali. Banyak lagi cerita-cerita mistis yang berkembang di masyarakat yang pernah merantau di pulau Bali.  Ya.. karena daerahku Jember cukup dekat dengan pulau Bali. Hanya dipisah satu kabupaten yaitu Banyuwangi, sehingga dari Jember ke Bali hanya butuh kurang lebih tiga jam.
Kalau boleh flash back, pertama kali aku ke Bali, tepatnya pada 1992 silam. Waah kenangan itu kembali hadir, saat kaki ini kembali memijak bumi Bali. Waktu itu masih baru kelas dua SLTA (Sekolah Lanjutan Atas). Kebetulan punya teman akrab di pondok yang rumahnya di Bali, tepatnya di Negare. Dari teman inilah aku mulai mengenal Bali, hampir setiap sudut Bali ia ceritakan. Tentunya berdasarkan prespektif dia, orangnya juga emang suka cerita. Jadilah cerita tentang Bali komplit mulai kondisi masyarakatnya, hingga tradisi dan daya tarik Bali, ia ceritakan disertai bumbu yang secara tidak langsung meracuni hasratku untuk mengunjunginya. Jadilah kita berempat ber back packer ria dari Jember naik kereta turun di stasiun Ketapang trus naik kapal penyebrangan sampai Gilimanuk. Dari sana naik angkutan umum, semacam angkot yang ukurannya seperti Colt atau minibus, menuju Negare. Singkat cerita, kurang lebih seminggu di Negare kita balik ke Jember. Satu hal yang juga berkesan pada kunjungan pertama ini adalah, mengenal “pasar senggol” adalah pusat makanan yang bukanya di atas jam 21.00 malam, dimana banyak sekali gerobak-gerobak makanan yang menjual makanan camilan dan nasi bungkus seukuran nasi kucing (kalau di Jogja). Ya, pasar senggol ini hampir sama dengan akringan di Jogja, karena menu-menu yang ditawarkan hampir sama. Pasarnya rakyat kecil yang bisa membantu orang kelaparan tengah malam. Atau duduk-duduk sambil ngopi dan ngobrol adalah hal yang sangat mengasyikkan. Bahkan pada kunjunganku kali ini, aku sempatin mampir ke pasar senggol di Denpasar, diajak temanku yang sudah jadi seniman lukis dan menetap di Bali.
Kedekatan Jember dengan Bali menyebabkan banyaknya warga Jember yang merantau mengadu nasib di sana. Hal ini berlangsung sejak tahun 80-an. Dimana pada masa itu hingga 90-an adalah masa kejayaan Bali, karena dunia internasional lebih mengenal Bali daripada negaranya Indonesia. Sehingga banyak sekali masyarakat dunia yang berkarya wisata ke pulau ini. Dengan banyaknya turis yang hadir di pulau ini, otomatis telah merubah berbagai tatanan di Bali. Khususnya perekonomian warganya semakin baik. Dan Dollar menempati sisi terbaik di sini. Sehingga segala harga apapun berdasar standar Dollar. Dengan daya tarik ekonomi yang tinggi inilah mengundang wisatawan domestik datang merantau untuk mengadu nasib. Dan daerah terbanyak yang merantau di sini, tentu kabupaten-kabupaten terdekatnya. Kalau di Jawa, pastilah Banyuwangi dan Jember, serta beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur.
Sebenarnya saya baru menemukan jawaban, atas pertanyaan saya selama ini tentang Bali. Mengapa Bali pada saat dekade 80-90an lebih dikenal daripada negaranya sendiri Indonesia. Bahkan Bali menjadi tujuan wisata dunia. Entah ini benar atau tidak, saya menemukan pernyataan yang sedikit menggelikan termasuk takjub. Bahwa, ditengarai ketertarikan negara-negara Eropa terhadap Bali pada awalnya, adalah dipicu oleh fakta bahwa gadis Bali dulunya cara berpakaiannya dengan bertelanjang dada. Waaah, bisa dibayangkan dong eksotisme yang ditampilkan gadis Bali ini. Kita khan tahu, mereka biasanya hampir setiap saat mengadakan ritual keagamaan, dengan keluar rumah menjunjung sesajen berupa gunungan bermacam-macam seperti buah-buahan di atas kepala mereka. Coba kita bayangkan mereka berjalan rapi beriringan menyungging gunungan dan bawa “canang” (media sembahyang), dengan tangan ke atas dan dada terbuka. Waaah, pastilah eksotis sekali. Naaah, inilah yang pada awalnya mengundang wisatawan Eropa hadir di Bali, sehingga lambat laun Bali menjadi terkenal di dunia.
Cerita tentang Bali memang tidak akan ada habisnya, karena bukan hanya panorama alamnya, tetapi juga kehidupan masyarakatnya yang unik dan khas. Kuatnya kultur budaya yang dikendalikan oleh hukum adat, menyebabkan tatanan setiap segi kehidupan masyarakat Bali diatur berdasarkan norma-norma adat. Biasanya pemuka adat dipangku oleh orang yang dianggap linuwih dan mampu memberikan solusi setiap permasalahan yang dihadapi warganya. Kehidupan masyarakat Bali tidak lepas dari ritual keagamaan, hampir setiap hari para wanita membuat “canang” berbagai bahan untuk sembahyang dan pemujaan. Dan setiap segi kehidupan baik diri dan lingkungan masyarakat ditanyakan pada pemangku adat. Jadi adat memegang kendali utama pada kehidupan masyarakat Bali.
Okay....kembali pada awal kita menginjakkan kaki di tanah Bali tadi. Jadi, kita biasanya akan berdoa dulu selepas menginjakkan kaki di tanah Bali, baik secara bersama maupun dalam hati terus memohon agar dijauhkan dari marabahaya dan godaan jin serta syetan laknatullah. Selepas itu kita akan terbiasa. Karena semakin dalam kita masuk ke bagian pulau ini akan cair dengan sajian panorama syarat keindahan.
Setelah memijakkan kaki dan menapakkan langkah semakin kita beranjak menjauh dari dermaga Gilimanuk dan perlahan masuk dengan jalan kaki kemudian berkendara. Maka kita akan semakin sulit memejamkan mata. Rentetan panorama yang bertubi akan memenuhi indra visual kita. Godaan pemandangan benar-benar menakjubkan. Bahkan letihnya badan dan lelahnya pikiran kembali fresh larut dalam ilustrasi alam kreasi sang pencipta, lebur dengan tatanan manusia yang rapi, eksotik kental ritual tradisi. Kitapun akan terbiasa mendengar percakapan khas bahasa Bali (sepintas terdengar antara perpaduan Jawa dengan pedalaman), tapi yang pasti kita akan terbawa untuk melafalkan huruf “t” dengan posisi di ujung lidah. Sehingga kedengarannya jika bicara pada kata atau kalimat yang bermuatan “t” akan terdengar belum tuntas, seakan tertahan. Tapi hal itu terdengar indah di telinga.
Tergantung jalur mana yang akan ditempuh, serta lokasi destinasi wisata mana yang akan dituju. Jika tujuannya menyisiri daerah pulau Bali di perkotaan, kemudian mengarah ke pusat pulau Bali, yakni Denpasar dengan Pantai Kutanya. Pastilah, di sepanjang jalan kita akan disuguhi kehidupan mayarakat Bali melalui bangunan dan ornamen-ornamen yang melingkupinya. Di setiap pertigaan atau perempatan kita akan disuguhi patung-patung mega besar para dewa-dewa masyarakat Bali, hingga ke Ngurah Rei. Bahkan dulu ketika untuk ketiga kalinya ke Bali pada tahun 1997, kita sempat berfoto-foto ria di hampir setiap patung tersebut. Karena jalan-jalan di kota Bali pada tengah malam di atas jam 12.00, kondisi jalanan sangat sepi, sehingga kami leluasa menikmati dan berfoto ria di sana. Jika kita menyususri daerah luar, maka bentangan pantai yang indah di sepanjang tepi pulau seperti Ulu Watu, Sanur, dan Nusa Dua. Belum lagi danau dan perbukitannya, seperti Bedugul dan Khintamani adalah daya tarik natural yang sulit diabaikan karena eksotismenya menawarkan berbagai ragam keindahan yang takkan cukup 1000 halaman kwarto untuk menceritakannya.
Belum lagi nuansa pedesaan dengan deretan rumah yang tertata rapi seragam dalam nuansa relief pagar dan gapura lengkap dengan media pemujaan di setiap sudutnya yang berhiasan ijuk hitam di atasnya berselempang kain kotak bercorak hitam putih. Terasa sekali nuansa magis sakral namun damai dalam kentalnya adat dan keagamaan. Dengan latar belakang persawahan yang pada beberapa sudutnya juga ada media pemujaan bagi sang Hiyang Widi Wasa. Menyatu dengan rigidnya sistem subak sebagai pola irigasi pada setiap pematang sawah yang berjejer betalam-talam laksana hierarki indah yang memuaskan mata memandangnya, menggoda kaki ingin menapaki wanginya khas tanah yang alami. Berjalan, berlari dan bermain dengan basahnya tanah persawahan yang terbentang.
Sesekali sepanjang perjalanan kita akan disuguhkan pure-pure yang sangat indah dengan ornamen-ornamen dewa, bunga dan binatang yang tergores secara presisi penuh imaginasi melarutkan logika dalam arus sakralitas bermakna. Baiklah, mungkin ada baiknya kita kategorisasi berbagai nuasa yang dimiliki pulau Bali ini.
Pada kunjunganku kali ini, walaupun berawal dari candaan mahasiswa angkatan 2013 yang bermain ke rumah. Hingga ide mereka saya suruh realisasikan dengan membentuk kepanitiaan, dan berhasil berankat kali ini. Jelas berbeda dengan sebelumnya. Karena bukan hanya sekedar rekreasi atau melancong semata, tetapi juga bertanggungjawab mendampingi mahasiswa studi banding di dua lembaga rehabilitasi. Maka tujuan ini harus tercapai dan terlaksana dengan baik, bukan sebaliknya. Jalan-jalannya yang berhasil tetapi tujuan utamanya malah di luar sekenario. Waah, ini bisa jadi kenangan yang cukup getir.
 kalau mau tau lebih jauh ceritaku, bisa beli dong bukunya....BALINESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By