Find Me

Jumat, 11 November 2016

Full Day School, Yes or No?



Artikel ini udah dikirim ke Opini Kompas, hanya kemudian balasannya ditolak dengan alasan sudah gak uptodate. Padahal waktu itu masih dalam kondisi hangat. Mungkin bagian verifikasi data yang diemail, kelamaan buka-nya karena terlalu banyaknya file yang masuk. Mungkin untuk selanjutnya segera dikirim segera dibaca. Gak pa apalah saya masukkan di blog aja deh.
Wacana yang didengungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggulirkan ide 'kontroversial' untuk dunia pendidikan Indonesia. Menteri yang belum sebulan menggantikan Anies Baswedan itu mewacanakan sekolah sehari penuh atau full day school untuk siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Idenya terinspirasi dari sekolah swasta yang sudah mempraktikkan sistem sekolah sehari penuh. pulang sekolah lebih sore, yakni pukul 17.00 WIB. Namun, para siswa akan libur dua hari pada Sabtu dan Minggu. Sebagai wujud terjemahan lebih lanjut program Nawacita, di mana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge base-nya (Liputan 6, 10/10/2016). Jadi jelas gagasan bertujuan untuk membangun karakter peserta didik agar tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Kompas,7/8/2016).
Gagasan tersebut, saat ini ramai diperbincangkan di media massa.Tanggapan masyarakat dari berbagai elemen paling bawah sampai atas beragam. Ada yang pro dan kontra, dengan alasan dan argumennya masing-masing. Kalau dilihat dari perkembangan wacana ini, yang jelas kontra adalah dari berbagai pihak mulai dari wali murid, sampai elemen-elemen yang konsen terhadap masalah perkembangan anak seperti Komnas Perlindungan Anak. Sedangkan yang pro diwakili oleh orangtua yang seharian sibuk bekerja. Dianggap sebagai angin segar, karena mereka tidak mampu meluangkan waktunya lebih banyak bermasa anak-anaknya. Sehingga wacana kebijakan ini terkesan tanpa didasari tujuan yang substansial untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembangunan karakter yang sesungguhnya. Tetapi lebif bersifat kontekstual untuk melayani kelompok masyarakat pekerja yang tidak memiliki waktu banyak untuk menemani dan mendidik anak-anaknya. Padahal, kalau untuk diterapkan menjadi kebijakan nasional, harus mewakili seluruh bangsa ini.
Begitulah bangsa ini, polemik sudah jadi trend, entah disengaja atau tidak wacana itu telah menimbulkan opini berkembang. Ibarat bola salju udah terlanjur dilemparkan, menggelinding ke sana-ke mari menimbulkan perdebatan di sana-sini. Jujur, wacana ini terkesan tanpa dasar kajian maupun penelitian yang mendalam dan komprehensif dari berbagai sisi. Entahlah, bukan hal yang baru, setiap pemimpin baru akan menelurkan kebijakan dan terobosan-terobosan baru yang biasa maupun krusial. Minimal membuat pernyataan yang sensasional. Seakan mengisyaratkan bagian dari pemenuhan kebutuhan eksistensi diri. Sebagai new comer (siapapun orangnya) seakan-akan ingin memantapkan keberadaannya dan menunjukkan bahwa dirinya berbeda (atau lebih baik) dari sebelumnya. Hal ini, tidak jarang memunculkan sikap dan perilaku yang sensasional bahkan menimbulkan polemik yang mengejutkan banyak pihak. Sebagaimana pernyataan sang Menteri di harian Jawa Pos (10/08/2016) “saya itu baru jualan ide, ingin tahu respon masyarakat seperti apa, dan lebih baik ramai di awal ketimbang setelah kebijakan keluar”. Begitulah sepotong pernyataannya. Jelas sekali terkesan sensasional.
Selama ini memang konsep full day school sudah ada dan dilakukan oleh beberapa sekolah unggulan dan swasta favorit. Jadi bukan hal baru. Tetapi, untuk dijadikan kebijakan nasional yang sifatnya mengikat bagi seluruh lembaga pendidikan dasar, tentu tidak semudah mengucapkannya. Karena dari segi infrastrukturnya saja belum siap. Belum lagi aspek psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Oleh sebab itu, Jika memang kebijakan full day school yang sudah ditelurkan ini mau ditetaskan maka sebaiknya harus mempertimbangkan berbagai aspek. Sifatnyapun harus luwes tidak memaksakan pada semua satuan pendidikan dasar, baik di pusat maupun daerah. Karena karakteristik dan kebutuhan serta persoalan yang dihadapi mereka beragam dan kompleks. Belum lagi kesediaan orangtua sebagai wali murid untuk setuju dan mau memasukkan anaknya ke sekolah full day. Jangan sampai kebijakan ini dilakukan dengan cara Try Out terpakai (masyarakat sebagai sampel uji coba sekaligus penelitian). Jika, ini yang dilakukan, maka akan semakin tidak jelas nasib generasi bangsa ini, dalam perjalanannya mengenyam pendidikan agar menjadi generasi yang cerdas dan berkarakter. Bayangkan saja dari pergantian presiden, dan beberapa orang menterinya sudah berapa kali ganti sistem pendidikan, seakan hanya jadi komoditas bukan substansional dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Seandainya konsep ini benar-benar mau ditetaskan, maka beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam. Misalnya saja masalah waktu, kalau durasi waktunya diplot jam 07.00 sampai 17.00, apa mungkin setiap sekolah bisa menerapkannya, bagaimana dengan yang wilayahnya di daerah terpencil, wah bisa bermalam di sekolah. Karena kalau pulangnya sore, nanti sampai di rumah bisa tengah malam, karena jarak akses rumah dengan sekolah yang berjauhan. Oleh sebab itu, baiknya ukuran waktu ini tidak bisa disamaratakan seluruh Indonesia. Di satu sisi, durasinya ini apa benar-benar sepanjang hari ataukah menyesuaikan jam kerja orangtuanya. Kalau sepanjang hari dari jam 07.00-17.00, yang perlu dipikirkan adalah muatan program kegiatannya apa saja yang harus diberikan, bagaimana pola istirahatnya, dan lain sebagainya. Di Finlandia saja yang memiliki standar mutu pendidikan terbaik di dunia menurut riset OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tahun 2015. Menetapkan maksimal lima jam sehari untuk pendidikan dasar dan menengah.
Secara psikologis, anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan. Dimana kondisi fisiknya membutuhkan istirahat yang cukup. Nah jika seharian di sekolah, tanpa ada istirahat (tidur siang sejenak untuk mengembalikan kondisi tubuh), maka otak anak akan stress, dan pertumbuhan fisik tidak optima. Jika yang terjadi demikian, maka bukan generasi emas yang sehat dan cerdas yang dicapai, tetapi generasi sakit. Taruhlah fasilitas dipenuhi, misalnya disediakan ruangan istirahat baik indoor (bansal-bangsal untut istirahat tidur siang) atau outdoor berupa taman-taman yang nyaman untuk bermain dan bersantai. Kalaupun fasilitas itu ada dan layak digunakan,.apakah serta merta akan dipergunakan dengan baik oleh ana-anak. Karena yang namanya anak-anak kalo udah berkumpul dengan sebayanya akan sulit untuk dikondisikan. Apalagi disuruh tidur siang dengan kondisi ramai. Mungkin gurunya udah kelelahan dulu sebelum mampu mengkondisikan mereka. Karena gururnya juga butuh istirahat, kalau kelelahan akan mengidap stress juga.
Secara sosial, jelas akan terjadi perubahan pola interaksi dan pergaulan. Seharian berada di sekolah, maka lingkup interaksi hanya seputar sekolah dan teman-temannya di sekolah. Sementara interaksi dengan lingkungan rumah dan tetangga serta saudara akan berkurang, karena selepas pulang sekolah akan kelelahan (tidak ada waktu bersosial di lingkungan rumah). Padahal anak membutuhkan modal sosial yang kaya, agar mampu menjadi pribadi yang punya kapasitas diri secara soft skill. Artinya secara sosial akan terbatas daya adaptasi dan interaksinya. Bisa melahirkan generasi yang cenderung individualis, karena terbatasnya akses sosial.

Secara budaya, tentu saja aksesnya juga semakin minim. Karena seharian di sekolah, maka budaya yang dipelajari dan diserap jadi terbatas. Padahal budaya itu salah satu elemen penting dalam pembangunan karakter. Bangsa ini bisa menjadi Bhineka Tunggal Ika karena memiliki akar budaya yang kuat dengan ditopang oleh local wisdom. Budaya yang syarat dengan kearifan lokal bisa diakses melalui interaksi dan internalisasi di lingkungan dimana individu itu tinggal dan berkembang. Harusnya lingkungan yang paling banyak diserap adalah budaya di rumah dan lingkungan sekitarnya.
Secara ekonomi, hal ini tidak kalah penting, bahkan bisa jadi penghambat jika ini benar-benar diterapkan. Karena operasional full day school otomatis akan menyerap biaya yang sangat besar. Untuk pengadaan infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana program full day school. Untuk gaji lembur guru-gurunya, untuk biaya konsumsi, dan fasilitas fisik lainnya. Jika biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi, apa mungkin menjangkau semua lapisan masyarakat. Kecuali, biaya ini tidak dibebankan kepada orangtua, tapi ditanggung oleh pemerintah. Tapi, apa bisa, wong sekarang pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pemangkasan anggaran.
Terakhir dari segi agama, muatan program maupun kurikulum yang dirancang, hendaknya tidak mengesampingkan aspek agama ini, karena kalau porsinya kurang, maka akan jadi blunder. Dimana kemampuan intelektualnya tercapai tetapi keagamaannya nihil, sehingga pendidikan karakter akan kembali gagal. Di sisi lain, apa hal ini tidak akan berbenturan dengan lembaga-lembaga pendidikan nonformal semacam pesantren dengan pendidikan diniahnya, ataupun TPA (Taman Pendidikan Alquran). Kalau demikian, kenapa tidak sekalian saja dimasukkan ke pesantren.
Jadi, seandainya kebijakan full day school ini benar-benar diterapkan, maka sifatnya harus fleksibel dan sebagai pilihan saja bagi lembaga pendidikan yang ingin menerapkannya. Semacam program akselerasi yang sudah dilakukan oleh beberapa sekolah favorit. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kajian yang mendalam. Seperti yang telah di bahas di atas. Tetapi juga, harus mempersiapkan personil penyelenggara yang mampu menjadi mediator, fasilitator, serta pendidik yang handal, serta menyiapkan rancangan program yang benar-benar mampu mengarahkan pada capaian dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Read more ...

Kamis, 03 November 2016

The True Love

Cinta Sejati hadir, biasanya ketika untuk pertama kalinya kita merasakan jantung berdebar kencang, bahkan berhenti berdetak untuk beberapa saat. Lidahpun terasa kelu, serba salah tingkah (hingga merasakan seluruh tubuh tidak berfungsi secara sempurna). Namun, cinta sejati jua, yang membuat kita mampu merangkai kata-kata indah, membuat kita selalu bersemangat, optimis bahkan berani dalam segala hal dan situasi.
Tapi Cinta Sejati tidak sesederhana itu. Cinta Sejati seharusnya tanpa syarat. Seperti cintanya Wardhah Hani sama Illahi Rabbi. Beliau lantunkan dalam bait-bait syairnya. "aku mencintai-Mu ya Allah hanya mengharap ridhoMu, jadi jika aku mencintai-Mu karena takut akan nerakamu, maka masukkan aku ke neraka-Mu, dan jika aku mencintaimu karena surga-Mu maka jangan Kau masukkan aku ke dalam surga-Mu". Begitulah gambaran Cinta Sejati dari seorang hamba kepada Tuhannya Sang Pencipta. Tanpa pamrih dan tidak mengharap balasan apapun, apalagi tuntutan.
Bagaimana Cinta Sejati antar manusia. Baiklah, coba kita renungkan lagi, Allah SWT menganugerahi perasaan cinta, tetapi tidak banyak yang mampu memaknai cinta dengan benar. Sehingga tidak sedikit di antara kita yang kecewa, sakit hati, bahkan bunuh diri atas nama cinta.
Ya...Cinta Sejati antar manusiapun seharusnya tanpa syarat. Ketika kita mencintai seseorang (when we fall in love with someone). Maka, seharusnya kita tidak berharap apapun dari orang yang kita cintai kecuali kebahagiaan dari orang yang kita cintai. Sehingga apapun yang kita lakukan, hanya agar orang yang kita cintai bahagia, tidak ingin membuatnya sedih apalagi kecewa. Kita akan melakukan segala sesuatu yang terbaik demi orang yang kita cintai (bahkan sebelum orang yang kita cintai mengutarakan keinginannya, kita sudah dapat memperkirakan dan mempersiapkan terwujudnya).
Contoh sederhana, jika kita janjian dengan Cinta Sejati kita, Maka kita akan melakukan persiapan sebaik mungkin. Bahkan beberapa saat sebelum nya kita udah stand by, tidak mau membuatnya menunggu, apalagi menggagalkannya. Makanya, jika memang benar cinta sejati, pastinya akan terus berusaha agar tidak membuat cintanya bersedih, kecewa apalagi sakit hati.
Kitapun tidak layak menuntut ini atau itu, apalagi memberatkan dan di luar kapasitas kemampuan orang yang kita cintai. Kita seharusnya mencintainya dengan tulus apa adanya bukan ada apanya (bukan karena keelokan rupa atau keindahan ragawi) apalagi materi. Karena itu semua tiada abadi. Bagaimana jika itu semua sudah berlalu seiring bertambahnya usia dan menurunnya produktifitas. Pastilah Cinta itu akan berkurang, luntur bahkan musnah, seiring munculnya keluhan-keluhan (kurang inilah, kurang itulah).
Cinta Sejati juga seharusnya tidak harus saling memiliki. Artinya ketika kita mencintai seseorang bukan berarti kita sudah atau harus memilikinya. Kalau kita sudah memiliki hasrat memiliki terhadap orang yang kita cintai. Berarti itu pamrih atau bersyarat. Beresiko besar, kenapa? Jika cinta kita ditolak, atau orang yang kita cintai memilih orang lain. Bukankah kita akan merana dan kecewa. Seharusnya kita merelakannya demi kebahagiaan orang yang kita cintai.
Bagaimana dengan kita yang sedang menjalin hubungan atau memiliki ikatan dengan seseorang. Tentu saja sama, cobalah kita belajar untuk mencintainya dengan sepenuh jiwa raga (bahasanya pujangga). Memupuk dan memeliharanya menjadi Cinta Sejati yang sesungguhnya. Sehingga, jika Cinta Sejati itu telah terwujud, Maka, seharusnyalah kita selalu mengupayakan kebahagiaanya, apapun yang terjadi. Karena kebahagiaanya adalah kebahagiaan kita. Sehingga jika dalam perjalanan, ternyata memilih yang lain sebagai pendamping hidupnya. Maka dengan segenap jiwa raga pula kita menerimanya. Karena, Cinta Sejati tanpa syarat, tanpa mengharap pamrih apapun dari orang yang dicintainya. Kecuali kebahagiaan dari orang yang kita cintai. Walaupun sakitnya tidak hanya "di sini" (dimana-mana). Dengan lapang dada kita merelakannya demi melihatnya bahagia dengan pilihannya.

Read more ...

Selasa, 01 November 2016

Calistung Raisha




Mengikuti perkembangan buah hati merupakan aktivitas yang sangat berharga dan bahkan tidak ternilai. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap pagi, siang, malam, setiap hari, minggu, bulan dan tahun adalah saat-saat yang tidak semua orang bisa mengikuti perkembangan buah hatinya. Tidak terkecuali aku. Akupun serngkali dibuat takjub dan kagum dengan setiap kosa kata yang dilontarkan Raisha Raqilla Assaid, prutri cantikku. Dia memahami kosa kata, yang menurut ukuran kita (Abi dan Uminya) belum tahu, tetapi ia udah tahu. Misal saat lihat banjir, gunung, hutan. Maka dengan sangat tepat ia akan menunjuk ke televisi, kalau itu banjir, jalan-jalan ke gunung atau kata-kata sulit lainnya.
 
Bahkan sekarang udah mulai mampu bercerita panjang lebar, walaupun untuk menghasilkan cerita yang utuh, nampak ia berpikir keras dan tersengal dengan pandangan yang kebingungan (berpikir keras). Tapi yang paling membuat sedih, saat aku pamit untuk pulang ke Jogja. Maklum sejak sekolah di TK nol kecil, ia berada di Ponorogo bersama umiiknya. Sedangkan aku, tetap di Jogja, dan setiap Sabtu pagi, atau Jum’at Sore aku berkunjung ke Ponorogo, baru hari Senin pagi aku balik ke Jogja. Nah seminggu lalu, pertengahan Oktober 2016, ia mengatakan sesuatu yang membuatku sedih. Abi balik ke Jogja dulu ya, sayang. Sembari menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengannya sekaligus mencium pipi dan keningnya. Jawabnya dengan sangat jelas “oo iyya bi, abii besok cepat balik lagi ke Ponorogo ya, ya bii, bii, yaa biii...yaa biii..begitu kebiasaannya mengulang-ngulang jika belum mendapat jawaban iya. “iya sayang, insyaallah, abi segera ke sini lagi”. Dia menjawabnya, "awas loh ya kalo kelamaan gak kesini-kesini, nanti mbak Raisha susul ke Jogja looh". "Nanti Mabk Raisha nyetir mobil sendiri ke Jogja, khan udah besar" begitu celotehnya. Kagetnya aku, nih anak cerdas banget.
Belakangan perkembangan pendidikannya sudah mulai kelihatan. Pasca dibelikan white board, spidol dan penghapusnya. Ia senang sekali mencorat coret di papan itu, mulai berulang-ulang membuat gars tegak lurus, bundar, hingga belajar menulis huruf, “a, b, c”. serta angka "1,2,3". Dan alhamdulillah sekarang suda bisa menulis di kertas. Bahkan pengalaman menulis di white board ini, membuat Raisha selalu ingin tampil di kelas, ia senang sekali jika di suruh maju di depan kelas melakukan apa yang diperintahkan gurunya.
Walaupun masih banyak kesalahan, dan jawaban yang diberikan terkadang tidak jelas arahnya. Tetapi ia mulai aktif dan senang jika disuruh maju. Waah perkembangan yang baik, padahal sebelumnya ia gak pernah mau perhatikan apalagi kalau disuruh maju (biasanya cuek aja) asyik dengan makanan bekalnya.
 
Di sisi lain, ia juga mulai getol menghafal lagu dan surat-surat pendek yang ada dalam buku hafalan yang diberikan sekolah Al-Hasan. Setiap bagun pagi, jam 04.00, maka bibir mungilnya mulai bersenandung segala hal yang diajarkan gurunya di sekolah. Hingga waktu ke sekolah tiba. Begitu sepanjang hari, banyak digunakan untuk bernyanyi dan menghafal doa-doa dan ayat-ayat pendek.
Ketika mau tidur, ia slalu mendekap bukunya, entah buku gambar atau buku hafalannya, terus sekarang semangat banget ngerjain tugas atau PR yang diberukan gurunya, dia gak akan tidur sebelum tugasnya diselesaikan. “Miiik, aku mau garap tugasku dulu ya….” Begitu celotehnya. Padahal biasanya ia kecapek an sepulang sekolah. Biasanya minta mandi terus bobok, sampai subuh menjelang.
 
Hal yang mungkin patut jadi nilai plus adalah bahwa Raisha termasuk anak yang gak mau dinomorduakan, tidak suka disepelekan, dan tidak suka kalah. Makanya, kemauannya besar agar ia tidak kalah dengan yang lain. Hanya saja, hal ini takut jadi "boomerang", jika ternyata ia sudah berusaha keras ternyata masih kalah. Bisa berdampak kurang baik bagi dirinya. Harus diajarkan kesabaran dan proses, bukan instan. segala sesuatu hanya dapat diupayakan selebihnya ada faktor x yang tidak terelakkan. di samping kapasitas kita yang terbatas.

yang juga membanggakan adalah perkembangan calistungnya udah beranjak bagus, ia sudah bisa bisa menulis bentuk huruf “a, b, c” dan angka "1, 2, 3". padahal sebelumnya belajar membuat garis lurus atau garis tegak lurus susahnya minta ampun. segala sesuatu yang digambarnya pasti melengkung, melingkar atau bulatan. lurus dan persebi baru dua minggu belangkan ini di usianya 4,5 tahun. ketika disuruh menggambar binatang, benda atau apapun, pasti lingkaran-lingkaran yang sulit mendekati bentuk gambar yang diinginkan. naah belakangan ini mulai terbentuk dan dapat dikenali dengan jelas apa yang ditulisnya. sangat menggembirakan. bahkan belakangan sudah bisa menulis huruf hijaiyyah (waaaf sungguh menggembirakan)...senyatanya kemampuan itu berkorelasi dengan kebiasaan. tinggal dibiasakan secra tekun dan kontinyu, maka kita akan menguasainya.

Di sisi lain, ia sudah kita kenalkan pengurangan dan pembagian (karena ia udah hapal hitungan 1-10), dan sekarang sudah bisa memahami pengurangan (dua dikurangi satu masa dengan satu). yaah, bertahap dengan kesabaran dan sambil bermain menyenangkan, pasti cepat belajar banyak hal. Semoga perkembangannya akan semakin baik. Doaku untukmu selalu buah hatiku…

Read more ...
Designed By